Ringkasan Materi Bincang Pesantren 11 #Bagian 2 : Cara Kyai Syukri Mencetak Kader

 Bagian 2 - "Pemimpin di Gontor adalah pendidik, yang setiap saat mengarahkan, memberi tugas, melatih, mengawal, memberi tauladan, dan mendoakan". Ini adalah penggalan nasihat KH. Abdullah Syukri Zarkasyi. Oleh karena itu, beliau selalu mendidik dan mengarahkan kader-kadernya. 

Sudah menjadi rahasia umum, Gontor terkenal memiliki sistem kaderisasi yang kuat. Semboyan "Siap memimpin dan siap dipimpin" selalu menggema di telinga para santri. Merasuk dalam pikiran alam bawah sadar mereka. Menjadi prinsip yang tertanam dalam diri. Sehingga tak jarang di kemudian hari para alumninya mengambil peran penting di ormas-ormas Islam, nasionalis, bahkan menjadi bagian dari pemerintahan.

Sebagai gambaran awal, dalam dinamika pondok, Kyai Syukri sangat tidak suka pemimpian yang tidak mau mengkader. Dalam artian tidak mau memberikan kesempatan para junior untuk bergantian tampil mengemban amanah. Jadi ibaratnya apa-apa dilakukan sendiri karena kurang percaya dengan yang lebih muda. Ungkapan yang sering beliau lontarkan untuk pemimpin model ini adalah "dasar feodal!"¹.

Ustadz Riza sedang menyampaikan materi.

Lantas bagaimana cara Kyai Syukri mencetak kader-kadernya? Pada kesempatan kemarin, Ustadz Riza berkenan membagikan kisah bagaimana sang ayah mendidik para kader. Ada tujuh metode yang almarhum gunakan;

Pertama, pengarahan. Polanya dengan menjelasakan 5W 1H sebelum memulai setiap kegiatan. Hal ini senada dengan yang disampaikan Ust. Ibrahim Mandres dalam setiap trainingnya. Yaitu awali program dengan edukasi. Terutama tentang manajemen keuntungan program tersebut. Supaya santri paham. Kenapa dia berkegiatan ini dan itu. Apa keuntungan yang ia dapat jika menjalani program itu.

Ustadz Riza menambahkan, ketika mengarahkan sang ayah senantiasa mengulang-ulang arahan. Prinsip Kyai Syukri adalah "Ping sewu!" (diulang seribu kali) sampai benar-benar paham, sampai mulut berbusa, sampai capek. Nah, melalui metode inilah salah satunya Kyai Syukri mentransfer falsafah hidup dari kegiatan yang akan dijalankan. Proses transfer falsafah kegiatan ini bisa dilakukan secara langsung melalui arahan atau bisa juga secara tidak langsung melalui tulisan dan motto.

Kedua, pelatihan. Setelah diarahkan, kader kemudian dilatih. Latihan ini berfungsi untuk menguatkan pemahaman dan ketepatan. Jadi jangan terburu-buru dalam memberi tugas. Dilatih dulu untuk mempraktikkan arahan, baru kemudian diberi tugas.

Ketiga, penugasan. Barulah setelah diarahkan dan dilatih, kader diberi tugas. Tugas ini berfungsi untuk menambah jam terbang. Practice makes us perfect semakin banyak praktik maka makin lama kian sempurna. Ubah pola pikir lama yang sebelumnya menganggap tugas sebagai beban. Tugas bukanlah beban, melainkan sebuah kehormatan. Karena dari situlah kita akan belajar banyak hal di lapangan. Semakin banyak mendapat tugas atau melibatkan diri untuk berperan, maka akan semakin kuat dan terampil dalam menyelesaikan masalah.

Keempat, pembiasaan. Poin ini merupakan unsur penting dalam pengembangan mental dan karakter santri. Seringkali tata kehidupan di Gontor diawali proses pemaksaan. Memang di awal akan terkesan mengurangi rasa ikhlas. Tapi lama-kelamaan santri akan terbiasa. Dalam menjalankan tugas pun sama, perlu pembiasaan agar bisa menjalankan tugas dengan baik. Agar kompetensinya meningkat dari waktu ke waktu.

Kelima, pengawasan. Maksudnya seluruh tugas dan kegiatan santri harus selalu mendapatkan bimbingan dan pendampingan. Sehingga apa yang telah diprogramkan mendapat kontrol dan evaluasi secara langsung. Jadi tidak boleh hanya diberikan tugas kemudian ditinggal tanpa kontrol. Dalam pendampingan, Kyai Syukri mempunyai semboyan 3R (rapat, rapih, rapet). Rapat, artinya setiap kegiatan diawali dengan koordinasi. Rapih, koordinasi diharapkan membuahkan hasil berupa agenda yang berjalan rapih. Rapet, artinya presisi kegiatan berjalan tanpa celah.

Keenam, uswah hasanah. Meneladani Rasulullah yang sukses membina umatnya dengan keteladanan, maka seorang pemimpin harus menjadi uswah hasanah. Wibawa bukan lahir dari seorang pemimpin yang jaim tapi tidak bisa menjadi uswah. Karena wibawa adalah jubah yang Allah berikan kepada seseorang yang menjadi uswah dan senantiasa memberikan usaha terbaik. Maka, wibawa akan muncul dengan sendirinya ketika kita menjadi uswah.

Ketujuh, pendekatan. Poin ini terbagi menjadi tiga macam yaitu; manusiawi, program, dan idealisme. Manusiawi, dengan cara menyentuh dan menyapa kader secara langsung. Bertujuan untuk mengetahui pola pikir, sikap, dan perilaku kader. 

Terkait hal ini Ustadz Riza menceritakan bahwa suatu hari di tahun 2009 ketika ia bersama beberapa asatidz pengasuhan menjadi pantia apel tahunan. Hari H-1 pekan Kyai Syukri meminta supaya apel tahunan kali ini ada inovasi, perubahan gitu lah. Kemudian di hari H-1 malam harinya ketika Ustadz Riza pulang ke rumah, terdengar suara klotek...klotek...klotek dari dapur, ada yang memasak malam-malam. Ternyata sang ayah sedang menggoreng pisang sendiri dan membuat teh panas.

"Pak, kok nggoreng pisang sendiri?" tanya Ustadz Riza. 

"Enggak papa, buat anget-angetan", jawab Kyai Syukri. 

Ustadz Riza mengira akan ada tamu, "Ada tamu to, Pak?"

"Enggak", jawab Kyai Syukri singkat kemudian melanjutkan, "Udah kamu ke sana cepat! ke lapangan, beresin".

"Njih, Pak"

Kyai Syukri pun menyuruhnya untuk segera kembali ke lapangan. Tak lama kemudian Kyai Syukri menelpon, 

"Riza, ke rumah sebentar!"

Sesampainya di rumah Kyai Syukri menyerahkan pisang goreng tadi, "Nih pisang gorengnya bawa ke lapangan. Tuh banyak orang-orang di sana. Kasih makan! sudah dibelikan makan?"

"Sudah, Pak", jawabnya.

Ternyata Kyai Syukri membawa ceret berisi teh panas dan kopi. Berjalan sendiri dari rumah di pojok lapangan hingga podium di tengah lapangan tempat biasanya pimpinan berdiri. "Nih tehnya", sambil meberikan ceret kepada panitia yang masih bekerja di malam itu, dan posisi waktu itu sudah jam setengah satu dini hari. Begitulah gambaran bagaimana Kyai Syukri menyentuh langsung kader-kadernya dengan pendekatan memanusiakan manusia.

Selanjutnya pendekatan program, dengan cara pendelegasian tugas. Hal ini akan membuat kader berhati-hati dan menumbuhkan jiwa kesungguhan serta militansi terhadap pondok. Terakhir adalah pendekatan idealisme. Merupakan upaya memberikan ruh, ajaran, filosofi di balik penugasan yang diberikan. Hal ini harus terus diasah sehingga santri dan guru mampu menangkap hikmah dibalik dinamika kehidupan yang begitu ketat.

Bersambung ke #Bagian 3


1. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, sering kali kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'.


M. Fajar Nur Rachmat
House of idea and experience

Related Posts

Posting Komentar