Malam itu beberapa anak muda duduk-duduk di teras Kantor Kesantrian. Usia mereka sepantaran, hanya terpaut satu dua tahun saja. Ditemani seduhan kopi hitam dengan gula sedikit berlebih, mereka memulai diskusi hangat yang sesekali ditimpali keluh kesah satu sama lain.
Para pemuda itu adalah junior wiyata bakti di sebuah pesantren. Kehidupan mereka berkutat pada kampus, tugas, presentasi kuliah, dan tentu saja youtube. Sebuah kegiatan yang terbilang cukup padat dan bisa dibilang berat bagi anak-anak muda semacam itu. Aktifitas pasca jam kuliah yang bagi sebagian mahasiswa diisi nongkrong bersama atau ngopi sambil nugas hingga larut malam, harus direlakan demi menjalankan amanah sebagai pembimbing asrama.
Tak jarang mereka dihadapkan dengan pilihan sulit. Memilih mengejar idealisme dan memperkaya diri, atau menjalankan tugas sebagai pengurus pesantren. Secara teori, memang semua harus berjalan beriringan. Tetapi, hidup tak sekedar kumpulan teori saja. Teori akan selamanya indah jika kita menutup mata atas realita di lapangan. Kenyataannya, beberapa kali terjadi junior wiyata bhakti yang pamit dari pesantren karena tuntutan kondisi. Mereka harus pindah tugas untuk mengabdi di tempat lain. Tak lagi berkontribusi di pesantren tetapi mengambil bagian di masyarakat. Begitulah teori dan realitas yang kadang berjalan tak beriringan. Namun, semua itu pasti ada hikmahnya.
Bagiku, pemuda seperti mereka adalah pejuang. Mengisi pos perjuangan sesuai kemampuan masing - masing. Ibarat mangga muda, ia masih bisa dinikmati secara maksimal. Mungkin dengan dibuat rujak, lotis, atau mangga mekar. Walaupun usia masih muda, sering dipandang sebelah mata karena dianggap anak baru kemarin sore. Hal tersebut tak menyurutkan tekad untuk mengabdikan diri. Mengambil peran apapun meski kecil. Seperti sekrup pada mesin, remeh namun fatal jika hilang. Mereka biasa menjadi pelayan Kyai Pesantren dalam menjalankan tugas-tugasnya. Atau hanya sekedar menjadi sopir demi mengantar Sang Guru berpergian. Mencucikan sepeda motor atau menyapu teras rumah Pak Kyai sembari meneladani akhlak mulianya. Egoisme pribadi yang selama ini mereka kesampingkan tak lain demi meraih setitik barokah dalam hidup.
Semua pengabdian mereka adalah perjuangan. Walaupun remeh tapi berpahala. Karena mereka hidup di atas tanah juang. Tanah juang itu bernama pesantren.
Oleh : M. Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik
Anda menyukai tulisan ini? Jangan biarkan kebaikan berhenti di tangan anda. Mari sebarkan kepada orang - orang terdekat dengan cara share tulisan ini.
Posting Komentar
Posting Komentar