Bagi seorang anak muda mengabdikan diri di pesantren bukan hal yang mudah. Banyak ego pribadi yang harus dikorbankan. Salah satunya adalah waktu kosong. Sebagai ustadz pengabdian, belajar di kampus menyedot banyak waktu mereka. Baru setelah jam kampus selesai, mereka kembali ke pondok untuk mengabdi. Saat itulah rutinitas menanti.
Sebelumnya kita perlu membedakan dahulu antara waktu luang dengan waktu kosong. Ya ini hanya pembagian yang saya pahami dari beberapa sumber. Waktu kosong adalah waktu di mana tidak ada agenda sama sekali. Misal musyrif muda selesai kuliah pukul 17.00, kemudian tidak memiliki perkuliahan lagi sampai besok pagi pukul 07.00. Maka waktu dari pukul 17.00 - 07.00 itu adalah waktu kosong.
Berbeda dengan waktu luang. Waktu luang adalah sisa waktu dari satu alokasi agenda yang kita tentukan. Contohnya seperti ini, waktu makan malam musyrif dari pukul 18.00 - 18.45 WIB. Ada alokasi 45 menit untuk satu agenda, yaitu makan malam. Padahal rata-rata musyrif makan hanya membutuhkan waktu 15 menit. Menurut saya itu sudah lambat. Dulu saja ketika santri bisa sampai 7 atau 5 menit. Nah sisa waktu 30 menit dari total 45 menit agenda makan malam itulah yang disebut waktu luang. Jadi mau dia makan di 15 menit pertama, kedua, atau ketiga, tetap dia punya waktu luang. Tapi kita tidak sedang membahas tema ini.
Kita kembali ke dunia musyrif muda. Musyrif muda harus siap mengorbankan waktu kosong untuk mengabdi di pesantren. Apapun rutinitas dan kegiatannya. Karena ada amanah besar yang harus dipikul. Amanah umat dan risalah baginda Rasulullah SAW. Alhamdulillah pimpinan pondok selalu hadir membersamai. Mengerami musyrif-musyrif muda yang akan menetas menjadi ustadz-ustadz senior. Jika tidak demikian, maka sungguh merugi.
Apa dasar saya mengatakan rugi? Coba mari kita lepas ego sejenak dengan menghisab diri. Dari mana anak-anak muda ini mendapat bimbingan? Dari mana mereka mendapat sentuhan kasih sayang, kebersamaan, dan kekeluargaan? Dari mana mereka belajar cara mengasuh anak? Menjadi orang tua saja belum. Jangankan menjadi orang tua, menikah saja banyak yang belum? Semua jawaban ada di sosok pemimpin. Ya, inilah oto-kritik untuk kita para pemimpin.
Pemimpin harus hadir dengan keteladanan. Jamak ditemukan kita yang berada di posisi pimpinan berekspektasi tinggi. Menuntut mudabbir dan musyrif-musyrif muda mengurus santri dengan kasih sayang. Kalau sakit dirawat sampai sembuh. Jika ditanya seluk beluk santri di kamar, mereka bisa jawab. Baik itu bab A sampai Z kehidupan kamar dan lain-lain. Tapi kita lupa memperhatikan musyrif muda. Sekedar mengetahui kondisi keluarganya saja tidak. Kuliahnya apalagi. Boro-boro kabar harian mereka. Punya uang bensin untuk kuliah atau tidak kadang kita tidak tahu, dan masih banyak lagi.
Bab di atas termasuk masalah sepele, tapi bermakna besar. Saya pernah menyampaikan ini dalam tulisan "Perkara Remeh, tapi Dahsyat" di blog ini. Sering kali hal-hal ini dilupakan. Akibatnya yang terjadi hanya tuntutan dan tuntutan. Kalau kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut. Semua ekspektasi kepengasuhan tinggal ekspektasi. Semuanya utopia.
Kita melayang sebentar ke dunia per-ayaman. Coba kita amati apa yang ayam lakukan setelah bertelur? Ayam akan mengerami telur selama 21 hari non-stop. Bagaimana jika si ayam mengerami suka-suka dia? Kadang mengerami, kadang santai di tempat lain. Tiga hari angkrem tiga hari keluyuran. Mau mengerami hanya di waktu luang saja. Sudah pasti telur tidak menetas. Ia hanya akan menjadi telur gagal. Menurut istilah jawa, ia hanya akan menjadi endhog kuwok.
Sama dengan musyrif dan santri yang kita bimbing. Semua dari kita yang terlibat di pesantren adalah pimpinan. Pimpinan bagi posisi masing-masing. Musyrif adalah pemimpin pengurus organisasi santri. Kepala Pengasuhan adalah pemimpin musyrif muda. Direktur adalah pemimpin Kepala Madrasah dan Kepala Pengasuhan. Kyai adalah pemimpin Direktur setiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pendidikan. Kalau kita tidak memahami filosofi ayam mengerami telur, yang ada bawahan kita hanya akan menjadi endhog kuwok.
Suatu saat pimpinan pondok tempat saya mengabdi pernah berpesan. Selepas ashar ia menasihati para musyrif muda dan santri akhir KMI. "Begitu kalian menginjakkan kaki di gerbang, maka kalian bertanggung jawab atas keberlangsungan pondok ini. Kalau sampai pondok ini mati, antum semua berdosa! Termasuk saya," begitu ia berpesan.
Semangat pimpinan pondok sangat berpengaruh bagi para musyrif. Pimpinan yang selalu hadir mencurahkan daya, pikiran, dan upaya akan menjadi magnet tersendiri. Itulah yang membuat para musyrif betah di tanah perjuangan ini. Tanah yang takkan pernah kering dari barokah. Tanah yang dirindukan kembali oleh mereka yang pernah bernaung di sana.
Selain semangat, kehadiran juga sangat dibutuhkan. Mereka mendambakan sosok pimpinan yang bisa membimbing. Bukan hanya menuntut dan memarahi. Karena mereka junior kita, partner kerja kita, anak-anak kita, dan tentunya keluarga kita. Keluarga besar tanah juang.
Oleh : M. Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik
Anda menyukai tulisan ini? Jangan biarkan kebaikan berhenti di tangan anda. Mari sebarkan kepada orang - orang terdekat dengan cara share tulisan ini.
Posting Komentar
Posting Komentar