Banyak terpapar akan menghilangkan sensitifitas. Dalam bahasa lain ada ungkapan senada berbunyi "Rutinitas membunuh sensitifitas". Ungkapan ini saya temukan di beberapa tulisan lepas di internet. Salah satunya diunggah dalam artikel berbahasa Arab dengan judul Katsratul Misas Tudzhibul Ihsas di laman Alukah.net. Mungkin sebagian dari kita menganggap kaidah ini tidak berdasar. Ternyata ketika dirunut, ia berpijak dari Qur'an dan Sunnah Nabawiyyah.
Apa sih maksud kaidah tadi? Kadiah ini berbicara mengenai lunturnya sensitifitas hati terhadap kemaksiatan. Ketika ia terlalu sering terpapar maksiat, maka ia akan menganggap maksiat sebagai hal yang biasa. Tidak ada masalah. Seorang laki-laki muslim bekerja di tempat kemaksiatan. Semakin sering ia berinteraksi dengan wanita yang tidak menutup aurat, semakin pudar sensitifitasnya terhadap hal itu.
Lain kasus tapi memiliki pola serupa. Bekerja dalam rutinitas monoton lama-kelamaan bisa berujung sama. Timbulnya rasa bosan lalu berkurangnya sensitifitas terhadap hal-hal kecil. Perkara kecil ini jamak kita anggap remeh. Tapi ternyata ketika tidak diperhatikan secara telaten, ia bisa menjadi bola salju.
Sebut saja urusan menyapa santri di pagi hari. Remeh memang, tapi memiliki banyak kebaikan. Kita ambil saja waktu di jam mandi pagi. Menyapa santri di jam itu bisa menambah kesiapan santri masuk kelas. Karena musyrif akan menyapa sambil mengontrol kegiatan pagi. Ketika ada yang tidur pagi ya dibangunkan. Ada santri malas mandi, tidak punya seragam, hingga lupa menata jadwal pelajaran. Semua bisa dikontrol berawal dari sapaan pagi seorang musyrif.
Tapi sayangnya musyrif bukan robot pengasuh. Adakalanya semangat itu naik-turun. Rutinitas harian yang terus berulang tak jarang menimbulkan kebosanan. Hal itu wajar karena mereka masih manusia. Punya tabiat dan hati. Bukan mesin pintar yang bisa berkerja 24 jam nonstop.
Mesin Saja Butuh Istirahat
Di daerah Jogja ada sebuah pabrik gula. Selama musim panen ia melakukan penggilingan. Penggilingan berjalan selama berbulan-bulan. Baru ketika masa tanam tebu tiba, penggilingan berhenti. Mesin lalu dimatikan. Dilakukanlah perawatan supaya siap menggiling tebu di musim panen selanjutnya.
Berhenti sejenak dari rutinitas sangatlah bagus. Hal ini bisa membantu menjaga semangat dalam bekerja. Meregangkan otot-otot yang mulai kaku. Melemaskan urat kepala yang kencang karena banyak memikirkan permasalahan santri. Juga untuk sekedar melepas tawa dan senyum bahagia. Mesin saja punya masa perawatan. Masa' iya musyrif kita tuntut bekerja tanpa ada waktu jeda? Salah-salah futur bisa melanda.
![]() |
Acara bakar ikan asatidz Ibnul Qoyyim Putra |
"Weteng Kebak Ati Cedak"
Bagi anak muda salah satu hal menyenangkan adalah kumpul bareng. Apalagi ditambah acara masak dan makan bersama. Bisa tambah seru! Musyrif-musyrif jomblo yang nggak pernah masak auto jadi sasaran! Hahaha.
Ada sebuah ungkapan jawa "weteng kebak, ati cedak". Dalam bahasa Indonesia bermakna bahwa ketika perut kenyang maka hati akan mudah terikat. Filosofi ini bisa digunakan untuk merekatkan hubungan antar musyrif. Makan bareng terlihat sepele. Tapi nyata dahsyat manfaatnya.
Penulis membuktikan sendiri filosofi di atas. Sebenarnya penulis mendapatkannya dari seorang coach. Bukan sekedar coach komunitas biasa. Tapi coach kehidupan. Komunitas ini masih aktif berkegiatan. Walau penulis juga kurang aktif hadir. Tapi ketika ada jadwal makan bareng, jangan ditanya. Anggota yang nggak pernah nongol pun ikut list iuran. Salah satunya ya saya! Hahaha.
Ngomong-ngomong iuran apa tuh? Hehehe. Disitulah praktik materi kekuatan berjamaah. Bersatu kita teguh bercerai kawin lagi, eh salah bro! Supaya bisa makan-makan kita "bantingan" dulu sekuatnya. Lima ribu, sepuluh ribu tak masalah. Semakin banyak yang iuran, semakin banyak modal acara masak-masak terkumpul. Jadi deh makan bareng dari hasil iuran bareng.
Metode patungan tadi juga bisa memupuk sifat rela berkorban. Walau sedang miskin karena akhir bulan, kita tetap bisa berpartisipasi semampu kita. Tanpa terhalang malu dengan sedikitnya nominal yang dikeluarkan. Allah saja tidak menilai dari jumlah. Tapi dari persentase harta yang dikeluarkan. Wah mau makan aja ndalil ni. Nggak papa, biar makin mantab.
Jadi, berhenti sejenak keluar dari rutinitas itu perlu. Guna me-recharge semangat dan melepas penat. Panci presto yang super puanas itu aja ada lubang kecilnya. Buat apa? Supaya nggak meledak karena kepanasan. Lalu kalau musyrif nggak dikasih "lubang uap kecil" gimana jadinya ya? Bisa meledak mungkin kepalanya.
Oleh : M. Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik
Posting Komentar
Posting Komentar