Namanya Pak Saga. Perawakan tinggi besar, rambut klimis, sorotan mata tajam bak elang berburu mangsa. Kepalan tangannya terasa mantab jika digunakan untuk meninju lawan saat berkelahi. Hanya penjahat bodoh saja yang nekat berurusan dengannya. Dia adalah Kepala kesantrian kami. Saat pertama kali bertemu, mungkin semua orang akan menyimpulkan satu hal.
Galak.
Pak Saga sudah cukup lama menduda. Istrinya meninggal saat usia pernikahan belum genap empat tahun. Ia menikah muda dan qadarullah belum dikaruniai anak. Sampai sekarang, di usia kepala tiga status duda masih bertengger di pundaknya. Meski demikian, ia masih setia mengabdi sebagai pengasuh di pesantren kami.
Aku tidak akan berkisah tentang kehidupan pribadi Pak Saga. Akan tetapi cara Pak Saga mendidik kami sebagai santri berkarakter, pantang menyerah, dan bertanggung jawab.
Suatu ketika, Riski kawanku hampir ditempeleng paving blok gara-gara tidak jujur ketika ketahuan merokok. Santri - santri pelanggar pun selalu kikuk dibuatnya. Tatapan tajam Pak Saga seakan membekukan gerak-gerik mereka. Padahal, dia sama sekali tidak mencari para pesakitan. Terkadang, sulit membedakan maksud Pak Saga ketika hendak mengisi morning spirit. Apakah sedang marah atau memberi motivasi. Entah apapun itu, hanya satu hal yang kami rasakan ketika dia berjalan ke depan barisan. Deg-degan.
Dia adalah salah satu guru terbaik kami. Manis pahit kehidupan pesantren telah kami lalui bersama. Sebagai santri akhir, puzzle-puzzle kenangan bersamanya otomatis muncul ketika menyebut nama Pak Saga. Pernah ia mengajak kami puasa sunnah bersama. "Modal dua ribu, kita bisa makan enak!", ujar Pak Saga. Keningku berkerut, "Mana mungkin? Dua ribu di angkringan cuma dapat gorengan tiga", batinku. Tapi itulah kekuatan berjamaah. Dua ribu perak jika dikumpulkan bisa menghasilkan ingkung, es marimas, dan gorengan.
Mantab.
Hari ini, Pak Saga sedang terbaring lemah di rumah sakit. Ia menderita autoimun, entah apa bahasa ilmiahnya, tapi itu yang dokter katakan. Pak Saga dengan segala 'kekejamannya' ternyata sangat membekas di hati para santri. Banyak yang tersadar dari lamunannya. Selama ini imej Pak Saga di kepala mereka adalah galak dan kejam. Tapi ternyata dia ustadz yang sangat perhatian dengan santri. Dekat dengan santri senior dan mengasihi santri junior. Dia yang menunjukkan kepada kami bagaimana mendidik dengan baik. Sekedar bertanya, "Gimana kabarmu nak? Sehat? Kok nggak jajan?" Hampir tak luput dari aktifitas hariannya. Semua hal yang dia ingin santri melakukannya, maka dia lakukan terlebih dahulu. Dia selalu berusaha menjadi teladan, meski sadar kalau dirinya pun banyak kekurangan.
Sore ini ustadz mengabarkan bahwa kondisi Pak Saga semakin memburuk. Tak banyak yang bisa kami lakukan. Hanya untaian doa yang terlantun dari lisan para santri. Mengharap ketetapan terbaik untuk semua. Jika kami diberi satu kesempatan doa mustajab, maka kami akan berdoa, "Ya Allah selamatkan satu ustadz kami. Ya Allah selamatkan Pak Saga". Semua ini karena dia adalah ustadz teladan, bukan ustadz yang kejam.
Oleh : M. Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik
Anda menyukai tulisan ini? Jangan biarkan kebaikan berhenti di tangan anda. Mari sebarkan kepada orang - orang terdekat dengan cara share tulisan ini.
Posting Komentar
Posting Komentar