"Brakk" fjallraven coklat itu jatuh ke lantai. Memuntahkan semua isinya. Si pemilik ceroboh lupa menutup ritsleting utama. "Aduh, berantakan nih" Nampak si pemilik sigap memungut isi tas dan kembali memasukkannya. Terlihat isi tas terlalu berlebih. Ia pun kewalahan. Sesekali ia melirik jam tangan. Pukul 06.50 WIB. Keringat di dahi menetes deras membasahi alis. Segera ia bangkit dan berlari.
"Srekkk"
Ah ternyata buku catatannya terlewat. Gelatik Kembar coklat itu terseret kaki kemudian terinjak. Ulah tingkah polahnya sendiri. Beberapa detik ia tertegun. Menyeka dahi lalu memungut kembali bukunya.
Gelatik Kembar itu bukan buku biasa. Sakral dan magis. Memuat catatan memori selama lima tahun ke belakang. Selusinan buku sudah ia habiskan. Tapi setiap habis, pilihannya sama. Gelatik Kembar warna coklat. Tak mau pindah ke lain hati. Rupanya dia bukan penganut madzhab rumput tetangga lebih hijau.
Ya, itu semua karena kenangan si Gelatik Kembar coklat. Dari situlah pengembaraan Mahdi dimulai. Mulai dari menulis diary sampai program kaderisasi pesantren. Namun, bukan manusia namanya kalau nggak nyinyir. Adakalanya suara sumbang itu muncul. Mengusik keasyikan Mahdi dengan "kitab magisnya".
Pernah seorang kawan bertanya, "Di, ngapain sih cowok nulis diary? Kayak cewek tau!". Mahdi menjawab dengan kelakar santai, "Biarin aje, lagian ini bukan diary. Tapi buku catatan peristiwa. Asal ente tau ya, Anne Frank dan Soe Hok Gie tu terkenal gara-gara catatan harian mereka. Mendingan ane punya tulisan. Kalau mati masih punya warisan, daripada ente mati ninggalin utang." Manyun, kawan tadi berlalu membiarkan Mahdi bermesraan dengan Gelatik Kembarnya.
Sebenarnya keputusan Mahdi menulis catatah harian bukan tanpa alasan. Ia terisnpirasi beberapa catatan harian bersejarah. Goresan tinta Anne Frank, Soe Hok Gie, dan salah satu pembantu Konstantin XI Palaiologos. Catatan yang terakhir sangat menginspirasi Mahdi. Darinya ia bisa merasakan ketegangan detik-detik Konstantinopel dibebaskan oleh Sultan Muhammad al-Fatih.
Memang dulu ketika masih nyantri, ia pernah aktif menulis. Tapi ya namanya anak bosenan, hanya bertahan dua pekan lalu fakum. Tulisannya juga terbilang masih alay. Bikin mesam-mesem kalau dibaca sekarang. Sempat Mahdi fakum menulis sampai tujuh tahun. Hingga ia akhirnya bertemu sang tambatan hati. Di situlah geliat Gelatik Kembar hidup kembali. Menjadi rumah bagi tulisan-tulisan Mahdi.
Selain dari tulisan-tulisan bersejarah. Ia juga termotivasi dari kebiasaan istrinya. Istrinya bukan orang hebat. Hanya istri biasa berparfum minyak telon bayi dengan sedikit tambahan aroma asap brambang goreng. Tapi di balik kesibukannya, si istri tetap aktif mengembangkan diri. Ikut kelas-kelas daring dan aktif di komunitas menulis. Kegigihanya membuat Mahdi kagum.
Seabrek aktifitas rumah tangga tak membuatnya gentar. Apalagi kalau sedang setoran tulisan di KasKus. Bagitu kerjaan rumah beres. Ia segera fokus menyimak tanggapan dan masukan tentang tulisannya. Masukan pedas, asam, manis semakin mematangkan karyanya. Tak takut salah karena hakekatnya semua sedang belajar. Ia berprinsip tidak ada penulis hebat atau berbakat, yang ada hanya penulis terlatih. Maka tugasnya hanya berkarya dan terus berkarya. Hingga dirinya mampu menghasilkan lebih dari seratus tulisan.
Bak setrum listrik, prinsip tadi memberikan dopping semangat bagi Mahdi. Setiap malas hinggap, ia hanya diam memperhatikan tingkah polah istrinya. Energik dan tak betah diam. Ada saja tema yang diolah menjadi tulisan.
Mahdi tak mau kalah. Maklum, harga diri sebagai lelaki dipertaruhkan. Masa' iya istrinya pesat berkembang, tapi ia masih stagnan. Setiap ada sedikit waktu luang segera ia raih Gelatik Kembar. Goreskan tinta tuangkan apapun yang ia temui. Semua ia pindahkan ke dalam tulisan. Karena sejatinya menulis itu memindahkan kehidupan ke dalam tulisan. Begitu kata seorang penulis terkenal dari Madiun.
Pukul 07.03, terlambat tiga menit. Mahdi sudah datang lima menit yang lalu. Sekarang ia menunggu di ruang tamu kantor penerbit.
"Krekkk" pintu ruang tamu terbuka.
"Assalamualaikum, maaf Pak Mahdi saya terlambat. Tadi mampir isi premium dulu. Selamat Pak, Insya Allah buku anda segera kita naik cetakkan".
Bahagia, itulah yang dirasakan Mahdi pagi itu. Segera terbit buku perdananya. Buku tentang catatan harian seorang musyrif. Sebenarnya itu sekedar kumpulan catatan pribadi Mahdi selama mengawal sistem kaderisasi pesantren. Asam garam pengabdian di pesantren ia bukukan. Agar orang lain bisa ikut merasakan dahsyatnya dinamika proses pengkaderan musyrif-musyrif muda. Juga sebagai wujud rasa terima kasih kepada ribuan musyrif pesantren se-Nusantara. Agar tidak ada lagi yang meremehkan sumbangsih mereka. Terutama dalam mencetak generasi penerus bangsa.
Hari ini, ia buktikan apa yang terucap lima tahun lalu. Jangan pernah meremehkan buku harian. Semua itu adalah wahana berlatih. Karena ia bukan penulis berbakat, tapi ia ingin menjadi penulis terlatih.
Oleh : M. Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik
Disclaimer : cerita ini hanya sekedar karangan yang bisa diambil hikmahnya. Jika ada kesamaan nama, tempat, waktu, atau kejadian. Maka itu bukan kesengajaan penulis.
Anda menyukai tulisan ini? Jangan biarkan kebaikan berhenti di tangan anda. Mari sebarkan kepada orang - orang terdekat dengan cara share tulisan ini.
bisa nitip naskah gak di sini nih? ��
BalasHapusBoleh banget, blog ini salah satu wahana berbagi karya terutama tulisan dengan tema santri dan pesantren. Naskah bisa dikirim ke email : fajar.nur30@gmail.com. Naskah kita upload setelah melalui proses editing.
Hapus