Santri Ori Pewaris Perjuangan Pahlawan

Jauh sebelum zaman kemerdekaan, santri sudah berkontribusi menjaga kedaulatan bangsa. Para ulama, kyai, dan santri kompak satu visi melawan kezaliman penjajah. Sepak terjang mereka terabadikan dalam lembaran kenangan. Lembaran buku catatan sejarah bangsa Indonesia.


Aksi mereka terbentang hampir di seluruh penjuru Indonesia. Tanah Rencong, Ranah Minang, Sunda, Jawa, hingga Ternate Tidore. Di Sunda ada K.H. Zaenal Mustofa. Jawa punya Pangeran Diponegoro, dan masih banyak lagi ulama, kyai, dan santri yang ikut berjuang melawan penjajah. Tak cukup tulisan ini menyebut satu-persatu nama mereka. Apalagi kiprah yang harum mewangi. Bak mawar mekar. Sedap dihirup dan enak dipandang. Naif sekali rasanya menuliskan kisah-kisah mereka hanya dalam selembar kertas folio.


Salah satu harum wewangian itu datang dari seorang ulama muda bernama K.H. Zaenal Mustofa. Mendirikan pondok pesantren di usia dua puluh enam tahun. Pernah dipenjara Pemerintah kolonial Belanda selama 53 hari. Pun begitu ia tak surut tak gentar. 


Ketika Jepang datang, Belanda melepaskannya. Namun sikapnya tak pernah berubah. Jiwa perlawanannya tak pernah luntur. Ia lanjutkan perjuangan melawan penjajah.


Belanda berganti Jepang. Walau berganti orang, hakikat tetap sama. Semuanya penjajah. Akhirnya meletuslah pertempuran Singaparna pada 22 Februari 1944. K.H. Zaenal Mustofa memimpin langsung konfrontasi melawan Jepang. Menjadi ulama sekaligus mujahid.


Berkilau Belum Tentu Berharga

Kiranya begitulah idealisme santri. Berpendirian kuat dan tidak mudah terombang-ambing. Setia pada agama dan kebenaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Tak gentar melawan kezaliman, apapun bentuknya. Pun tidak mudah silau dengan bungkus-bungkus indah ideologi penjajah.


Nahas nasib kita hari ini, beberapa alumnus pesantren menggandrungi Barat secara berlebih. Meski bekas kolonialisme belum sepenuhnya hilang, kilau peradaban Barat membuat kita gagap. Ekspornya juga tak jarang membawa penumpang lain. Liberalisme, pluralisme, relativisme, dan isme lainnya tak luput menjadi komoditi ekspor.


Idelologi-ideologi itu barang baru bagi santri. Menarik bak bongkahan emas. Tapi ternyata bukan. Akhirnya mereka tertipu. Karena setiap yang kuning belum tentu emas. Lampu lalu lintas pun ada kuningnya. Tapi bukan emas.


Tak ragu, atas nama progresifitas mereka menjatuhkan vonis. Islam yang selama ini dipelajari di pesantren itu kolot dan konservatif. Perlu disegarkan kembali dengan celupan-celupan 'progresif' Barat. Agar tidak kolot dan ketinggalan zaman. Mereka lupa kalau Islam itu shalihun likulli zaman wa makan. Islam itu sesuai dengan segala waktu dan tempat. Ujung-ujungnya mereka terjebak dekonstruksi syariat.


Mencetak Santri Original

Diskursus pemikiran Islam versus Barat bergumul seru. Melahirkan dikotomi literalis dan progresif. Siapa yang tidak mau merima cara pandang 'progresif' Barat berarti ia literalis. Jumud, kolot, dan tak mau berkembang. Tapi apakah kita harus seperti itu?


Agaknya kita perlu meneladani kisah K.H. Zaenal Mustofa. Sosok intelektual muda yang setia pada agama dan memahami realita. Walau berganti orang, ia tetap sadar siapa Belanda dan Jepang. Tak mudah goyah dengan hal-hal baru. Tetap pada prinsip melawan kezaliman. Siapapun pelakunya dan apapun bentuknya.


Menjadi Zaenal Mustofa abad ini tidak mudah. Butuh banyak perangkat yang harus disiapkan. Terutama untuk menyongsong arus medernitas Barat. Menjawab hal ini, Syed Naquib Alatas menawarkan sebuah cara pandang. The worldview of Islam, atau cara pandang Islam terhadap Barat. Sebagai bingkai berpikir santri dalam mengkaji peradaban Barat. Agar tidak terjerumus dalam dua kutub kejumudan dan liberal. Tetapi tetap kritis dan agamis.


Membangun worldview tadi perlu metode. Salah satu yang bisa ditempuh adalah dengan mendaras dan berdiskusi. Mendaras ialah mengkaji lembar demi lembar buku secara mendalam. Ibarat detektif, ia menyelidiki bait demi bait buku secara mendalam. Juga mencari pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengannya. Hingga didapati wawasan luas yang berawal dari 2-3 lembar halaman buku objek daras. 


Dari mana wawasan luas itu? Dari buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek daras. Di situlah penanaman mindset dan pembekalan maklumat berlangsung. Juga penumbuhan nalar kritis santri terhadap sebuah gagasan. Karena mereka diharuskan mencari referensi seluas mungkin, bahkan dari berbagai perspektif.


Modal maklumat saja belum cukup. Agar mampu mempertahankan argumen santri harus terbiasa berdiskusi. Ideologi Barat menjamur lewat forum diskusi, maka dari itu kita juga harus membiasakan diri. Di situlah kita dituntut berpikir kritis dan bersikap tenang. Agar logika mengalir jernih tanpa luapan emosi. Logika dibalas logika, argumen dibalas arguman. Bukan argumen dibalas emosi meledak-ledak atau ujaran kebencian.


Harapan kita, lahir Zaenal-Zaenal baru dari pesantren. Intelektual muda yang memahami realita kolonialisme. Original hasil didikan pesantren. Tanpa micin 'progresif' dan pewarna 'humanis'. Selamat hari pahlawan 10 November 2020.

Oleh : Muhammad Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik




Anda menyukai tulisan ini? Jangan biarkan kebaikan berhenti di tangan anda. Mari sebarkan kepada orang - orang terdekat dengan cara share tulisan ini.

M. Fajar Nur Rachmat
House of idea and experience

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar