Kunci Penting Melahirkan Santri Berilmu dan Beradab

Sejumlah santri sedang mendengar penjelasan Ustadznya dengan seksama

Alhamdulillah, setelah melakukan safar ke daerah Bekasi dan sekitarnya selama 4 hari, saya kembali bertugas membersamai para santri pejuang ilmu, Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim Putra.  

Ketika melihat santri berkumpul di Masjid untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan mereka, ingatan saya tertuju pada nasihat Ust. Dr. Muhammad Ardiansyah, Direktur Pondok Pesantren At-Taqwa Depok, saat bertanya perihal konsep adab dan aplikasinya di Pesantren.

Sebelum menjabarkan panjang lebar, Ust. Ardiansyah menegaskan terlebih dahulu bahwa penanaman adab kepada santri itu bukanlah perkara yang mudah, ini bukan pekerjaan sampingan dan sambilan. Sehingga tidak heran bila manusia yang diutus untuk mengajarkan adab ini adalah manusia terbaik yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ada dua poin yang menjadi titik tekan pada diskusi hari Jum'at malam (2/9/2022) di Pesantren At-Taqwa bersama Ust. Ardiansyah. Dua poin ini menjadi kunci dalam melahirkan santri yang beradab. 

Pertama, keteladanan guru. 

Bila guru ingin muridnya menjadi orang baik, ia harus memastikan bahwa dirinya adalah orang yang sungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan. Bila guru ingin muridnya menjadi orang yang berilmu dan beradab, guru harus terlebih dahulu menjadi sosok yang mencintai ilmu dan memiliki adab yang luhur. 

Salah satu kelebihan pesantren adalah sistem asrama. Di dalam asrama ada sosok pimpinan pesantren atau biasa disebut kyai yang menjadi figur keteladanan. Selain kyai santri juga mendapatkan teladan dari dewan guru (Asatidz) yang tinggal di komplek pesantren. Dari sinilah terjadi penanaman nilai-nilai adab, apa yang santri lihat dan dengar dari gurunya menjadi pendidikan baginya. 

Berbicara tentang keteladanan ada hal yang harus digaris bawahi, bahwa keteladanan yang utuh adalah keteladanan yang lahir dari hati yang jujur, sehingga ia akan memancarkan ruh (spirit) yang dapat ditangkap oleh orang lain. Bukanlah keteladanan bila ia lahir karena motif duniawi. Karena motif duniawi hanya akan melahirkan gerakan semu tidak bernilai, bahasa orang sekarang gimmick. 

Kedua, membersamai santri dalam proses pendidikannya.

Sebagai syarat dari keunggulan sistem asrama, maka keberadaan kyai dan dewan guru harus benar-benar dirasakan oleh santri. Menurut Ust. Ardiansyah, kyai dan guru hendaknya menjadi panutan dan orang yang luar biasa di pondok, bukan biasa di luar. Maka sudah seharusnya kyai dan para guru tinggal di dalam pesantren, waktunya harus banyak terpakai untuk membersamai para santri dalam proses pendidikan. Ust. Ardiansyah memberikan contoh, di Pesantren At-Taqwa dengan jumlah santri putra-putri sebanyak 200-an, terdapat 20 guru yang mukim, sebagian besar sudah berkeluarga. Guru-guru inilah yang menjadi pengasuh santri selama 24 jam, berinterkasi, berkomunikasi, beribadah, dan berakitivitas dengan mereka. Dari guru-guru inilah para santri mendapatkan nilai-nilai keteladanan.

Ust. Ardiansyah memberikan analogi induk ayam yang mengerami telur. Analogi ini persis seperti teori Ust. Ibrahim Mandres, pendiri Dormitory Educator Academy. Adalah mustahil telur bisa menetas menjadi anak ayam apabila induknya tidak mengeraminya. Sama seperti santri, agar bisa lahir sebagai Muslim yang berilmu dan beradab, guru harus senantiasa membersamainya dalam proses belajar, ia harus selalu dibimbing, diarahkan, dan dibantu dalam setiap permasalahan yang ditemuinya. 

Santri yang selalu dibersamai akan merasa bahwa ia adalah bagian dari hidup gurunya. Dengan demikian ia akan tumbuh dan berkembang menjadi Muslim yang berilmu dan beradab, yang dibesarkan oleh tangan-tangan ikhlas para guru. 

Adapun santri yang jarang dibersamai, ia akan merasa sepi, sendiri di tengah keramaian. Ia tidak mendapatkan sentuhan hangat dari gurunya. Ia sekedar mendapatkan transfer ilmu pengetahuan, namun minus nilai-nilai pendidikan. Sebab dia jarang disapa, dibimbing, dan diarahkan. Sehingga jangan heran bila ia tumbuh menjadi sosok yang serba kekurangan, kurang ilmu dan kurang adab. 

Allahu a'alam.

Muhammad Jundi Rabbani (Pendidik Santri)

Jogja, 6 September 2022

Related Posts

Posting Komentar