Selain itu, ia juga terbiasa mematikan handphone sebelum masuk waktu shalat. Kemudian menghidupkannya kembali setelah shalat usai. Sahdan, hari itu banyak sekali pesan SMS (karena belum ada Whatsapp) dan panggilan telepon tak terjawab. Akhirnya ia lupa melambaikan tangan menyapa petugas ketika keluar dari akademi militer. Konsentrasinya terfokus pada layar handphone dan seabrek SMS di hadapannya.
Beberapa hari kemudian, ketika Dr. Al-Arifi hendak masuk ke komplek akademi militer. Ia dicegat oleh Petugas. Petugas tidak mempersilahkannya masuk. Sontak Dr. Al-Arifi terkejut. Tidak biasanya ada petugas yang memberhentikannya.
Dr. Al-Arifi pun turun dari mobil dan menyapa mengucap salam. Salam pun dijawab oleh petugas. Si Petugas lantas bertanya, "Wahai Syaikh, apa salah saya sehingga engkau tidak menyapaku. Bahkan engkau tidak melihat ke arahku sekilas pun?"
Kaget. Perasaan itulah yang ada dalam hati Dr. Al-Arifi. Ternyata dia adalah petugas yang berjaga beberapa hari lalu. Ya, ketika banyak sekali panggilan dan pesan singkat masuk. Spontan beliau beristighfar kemudian memohon maaf sebesar-besarnya kepada si Petugas. Ia pun menjelaskan kondisi sebenarnya. Bahwa saat itu sedang banyak sekali SMS yang masuk.
Terjemahan Buku Istamti' Bi Hayatika karya Dr. Muhammad al-Areifi |
Sahabat Inspirasi sekalian, dari kisah di atas kita belajar sebuah hikmah. Perkara kecil tapi berpengaruh besar. Seperti yang sudah saya tulis di "Remeh tapi Dahsyat". Terkadang melalui sebuah sapaan tulus, salam yang diiringi senyum, atau sekedar menanyakan kesehatan diri dan keluarga bisa menyenangkan lawan bicara kita. Termasuk para santri. Maka jangan pernah kita meremehkan hal-hal yang kecil.
Pepatah Jawa mengatakan Kriwikan dadi grojogan (masalah kecil atau sepele bisa menjadi besar). Berawal dari seorang ustadz/guru yang jarang menyapa santri. Bahkan tidak pernah tersenyum ketika berpapasan. Masalah-masalah besar akan muncul. Misal tiba-tiba salah satu sandal ustadz hilang, tiba-tiba ban motor dicium paku padahal diparkir sejak kemarin sore, dan lain-lain.
Ustadz Ibrahim Mandres seorang founder sekaligus master trainier DEA (Dormitory Educator Academy) sering mengatakan, "Awal mula permasalahan adalah ketika guru tidak kenal murid". Maka sapalah murid dan kenalilah dia. Agar suatu saat ketika murid punya masalah kita mampu menyelesaikannya. Juga ketika kenal, kita ngobrol itu akan enak. Topik pembicaraan akan selalu ada.
Berbeda jika seorang guru beranggapan bahwa ketika ia berinteraksi dengan murid, maka ia harus jaim. Tidak mau berdekat-dekat. Tujuannya supaya tidak diremehkan. Tapi Sahabat Inspirasi sekalian, justru sikap seperti itu yang akan memunculkan sandiwara. Coba baca kembali tulisan tips mendidik santri beradab. Akan kita dapati bahwa mendidik itu bukanlah bersandiwara. Muruah seorang guru/ ustadz akan tetap terjaga ketika ia disiplin dan mampu menjadi teladan. Bukan dengan jaga image di hadapan para santri.
Oleh : Muhammad Fajar Nur Rachmat, Tenaga Pendidik
Posting Komentar
Posting Komentar