Ketika kita mengejar ciat-cita yang
setinggi langit. Bekerja keras memenuhi angan. Tak sedikit pula peluh yang kita
keluarkan. Semua kemampuan kita usahakan
untuk menggapai angan kita. Dan hasil dari kerja keras yang kita
usahakan berbuah pada kesuksesan yang menggembirakan. Membuat hati kita bangga
dan orang lain disekitar kita pun ikut
memuji prestasi kita itu. Akhirnya kita terlena dengan pujian dan apa yang
telah kita dapatkan. Kita lupa tantang apa yang paling dekat dengan kita. Kita
lebih mencintai kenikmatan yang berupa kesuksesan yang melalaikan tersebut. Dan
itu menimbulkan suatu penyakit yang dokter spesialispun tak sanggup
mengobatinya. Ialah penyakit cinta dunia dan takut mati (Al-Wahn).
Ketika
kesuksesan kita raih. Segala prestasi ada dalam genggaman, dan kita takut untuk
kehilangan itu semua. Kita takut pada saat-saat kita mencapai puncak prestasi
ini kita lenyap dengan seketika. Padahal maut itu sangat dekat dengan kita. Dan benar, di pagi hari yang cerah, ketika
kita hendak menyongsong hari ini dengan segala prestasi. Ada perasaan aneh yang
mengganjal di hati. Tak tahu dari mana arah datangnya. Tiba-tiba, datanglah
Malaikat maut di hadapan kita. Kaget dan tergagap, ingin sekali lari dan
menghindar. Berharap agar ajal ini bisa ditangguhkan. Laa yastaqdimuuna wa laa
yas ta’khiruun, tiada yang bisa mempercepat apalagi menangguhkannya.
Sakaratul
maut pun terjadi. Ruh terlepas dari jasadnya, meninggalkan semua yang ada. Tak
membawa perbekalan apapun kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan
anak-anak yang sholih dan selalu mendo’akan orang tua. Begitu cepat rasanya,
setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, dan sekarang ajal telah
menjemput, dan tidak ada yang bisa kita mintai pertolongan di sini.
Iring-iringan jenazah berangsur-angsur pergi
meninggalkan pemakaman. Meninggalkan kita dalam kubur yang sempit, lembab, dan
pengap. Kemudian datanglah Malikat Munkar dan Nakir membawa gadha [1].
Mulailah satu-persatu pertanyaan
dilontarkan. Ketika kita tak kuasa menjawab, gadha pun dipukulkan ke raga kita.
Padahal bila dipukulkan ke Gunung, Gunung itu akan berubah menjadi debu. Dan
igat bahwa ‘adzab Allah itu pedih dan janji-Nya itu pasti.
Tak
usahlah kamu berani kepada maut dan menantangnya. Tanpa kita berani dan menantang
pun ia akan datang dengan sendirinya menghampiri kita. Yang perlu kita
pertanyakan ialah, sudah siapkah kita menyongsong kematian? Yang pastinya dengan
perbekalan amal yang memadahi. Sungguh banyak orang yang menurut kita sehat dan
tidak ada tanda-tanda kematian sedikitpun di raut wajahnya, tiba-tiba sudah
terbujur kaku ketika kita meihatnya untuk terakhir kali. Ketahuilah bahwa
seorang mikmin yang cerdas ialah yang banyak mengingat-ingat kematian dan
paling bagus dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya.
Kematian
itu selalu mengintai kita dari segala penjuru, arah manapun dan kapanpun. Entah
dari depan, belakang, samping, atas, atau bahkan dari bawah. Dan yang perlu
kita ingat untuk senantiasa mengingat kematian adalah, kamu mati besok!

Posting Komentar
Posting Komentar