Renungan : Saat Maut Tiba


            
Ketika kita mengejar ciat-cita yang setinggi langit. Bekerja keras memenuhi angan. Tak sedikit pula peluh yang kita keluarkan. Semua kemampuan kita usahakan  untuk menggapai angan kita. Dan hasil dari kerja keras yang kita usahakan berbuah pada kesuksesan yang menggembirakan. Membuat hati kita bangga dan  orang lain disekitar kita pun ikut memuji prestasi kita itu. Akhirnya kita terlena dengan pujian dan apa yang telah kita dapatkan. Kita lupa tantang apa yang paling dekat dengan kita. Kita lebih mencintai kenikmatan yang berupa kesuksesan yang melalaikan tersebut. Dan itu menimbulkan suatu penyakit yang dokter spesialispun tak sanggup mengobatinya. Ialah penyakit cinta dunia dan takut mati (Al-Wahn).
            Ketika kesuksesan kita raih. Segala prestasi ada dalam genggaman, dan kita takut untuk kehilangan itu semua. Kita takut pada saat-saat kita mencapai puncak prestasi ini kita lenyap dengan seketika. Padahal maut itu sangat dekat dengan kita.  Dan benar, di pagi hari yang cerah, ketika kita hendak menyongsong hari ini dengan segala prestasi. Ada perasaan aneh yang mengganjal di hati. Tak tahu dari mana arah datangnya. Tiba-tiba, datanglah Malaikat maut di hadapan kita. Kaget dan tergagap, ingin sekali lari dan menghindar. Berharap agar ajal ini bisa ditangguhkan. Laa yastaqdimuuna wa laa yas ta’khiruun, tiada yang bisa mempercepat apalagi menangguhkannya.
            Sakaratul maut pun terjadi. Ruh terlepas dari jasadnya, meninggalkan semua yang ada. Tak membawa perbekalan apapun kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak yang sholih dan selalu mendo’akan orang tua. Begitu cepat rasanya, setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, dan sekarang ajal telah menjemput, dan tidak ada yang bisa kita mintai pertolongan di sini.
             Iring-iringan jenazah berangsur-angsur pergi meninggalkan pemakaman. Meninggalkan kita dalam kubur yang sempit, lembab, dan pengap. Kemudian datanglah Malikat Munkar dan Nakir membawa gadha [1]. Mulailah  satu-persatu pertanyaan dilontarkan. Ketika kita tak kuasa menjawab, gadha pun dipukulkan ke raga kita. Padahal bila dipukulkan ke Gunung, Gunung itu akan berubah menjadi debu. Dan igat bahwa ‘adzab Allah itu pedih dan janji-Nya itu pasti.
            Tak usahlah kamu berani kepada maut dan menantangnya. Tanpa kita berani dan menantang pun ia akan datang dengan sendirinya menghampiri kita. Yang perlu kita pertanyakan ialah, sudah siapkah kita menyongsong kematian? Yang pastinya dengan perbekalan amal yang memadahi. Sungguh banyak orang yang menurut kita sehat dan tidak ada tanda-tanda kematian sedikitpun di raut wajahnya, tiba-tiba sudah terbujur kaku ketika kita meihatnya untuk terakhir kali. Ketahuilah bahwa seorang mikmin yang cerdas ialah yang banyak mengingat-ingat kematian dan paling bagus dalam mempersiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya.
            Kematian itu selalu mengintai kita dari segala penjuru, arah manapun dan kapanpun. Entah dari depan, belakang, samping, atas, atau bahkan dari bawah. Dan yang perlu kita ingat untuk senantiasa mengingat kematian adalah, kamu mati besok!                                       


[1] Bahasa Jawa yang artinya ; alat sejenis pukul.
M. Fajar Nur Rachmat
House of idea and experience

Related Posts

Posting Komentar