Tips Anti Galau untuk Santri Akhir


Syukur menghamparkan sajadah. Malam itu ia bermunajat kepada Sang Khaliq. Memohon petunjuk atas kegalauannya akhir-akhir ini.  Bimbang, itu yang dirasakannya. Ke mana berlabuh setelah lulus? Pulang kampung dan berdakwah, atau pergi ke luar negeri melanjutkan studi impian.

Pernah mengalami hal di atas? Terutama saat menjelang kelulusan pondok? Kalau iya, berarti kita senasib! wkwkwk. Ilustrasi di atas sekedar gambaran kebingungan santri akhir KMI. Alias santri yang sudah ada di penghujung studi. Hendak ke mana ia berlabuh? Bekerja atau pulang kampung? Kuliah atau mengabdi di pondok? 

Sebenarnya pesantren dengan seabrek programnya sudah mengarahkan para niha'i (sebutan untuk santri akhir di kebanyakan pondok). Bentuk arahannya pun berbeda-beda. Tergantung model pendidikan pondoknya. Pondok dengan genre modern akan mengarahkan santrinya untuk berkarir di jalur legal-formal. Lain halnya dengan pondok ber-genre salafiyah, atau dakwah pedalaman. Pasti akan mengarahkan para niha'i untuk segera menikah dan terjun ke medan laga. Loh berarti nikah muda? Lha iya, emang salah ya? Hmm.

Nikah muda itu nggak salah! yang salah sebagian oknum pelaku nikah muda aja. Belum siap tapi sudah "memaksakan diri". Asalkan kamu sudah ba'ah (siap secara rohani dan jasmani) kenapa tidak? Daripada pacaran mending nikah langsung. Toh nggak sedikit juga ulama yang nikah muda. Jadi gimana nih? Gass keuun....

Kita kembali ke topik utama. Saya pribadi mengalami hal yang sama dengan karakter Syukur. Bimbang di penghujung masa studi. Pondok saya dulu termasuk ber-genre modern. Di kelas akhir pun saya dan kawan-kawan sudah mendapatkan banyak pembekalan. Mulai dari kampus fair, temu alumni sukses, dll. Tapi ya kenyataannya masih ada saja santri yang bingung. Bukti riilnya ya saya sendiri, haha. Maapkan saya ya ustadz - ustadzah.

Kalau saya dulu sih penyebabnya karena belum nemu aja. Kira-kira passion yang pas apa ya? Dulu sih saya suka Bahasa Inggris dan dunia dakwah. Eits tunggu, dunia dakwah? Iya, buktinya saya buat blog ini sejak kelas 6 KMI (santri akhir). Tepatnya di tahun 2012. Tuh buktinya masih ada di blog ini. Kumpulan tulisan alay saya ketika masih sok tempe. Sengaja nggak saya hapus supaya jadi monumen pengingat. Itu lho dulu kamu pernah nulis itu, wkwkwkwk. Ngelanturnya mulai kambuh nih. Maafkan hamba pembaca sekalian.

Yah begitulah balada santri akhir KMI. Kita dulu juga pernah mengalami. Bahkan senior - senior kita juga iya. Bedanya, zaman yang menjadi plot twist cerita. Tahun 90-an belum serumit 2000-an. Pun tahun dua ribuan belum serumit permasalahan sekarang. 

Oke, langsung saja kita kupas beberapa permasalahan seputar santri akhir. Permasalahan ini terinspirasi dari kisah nyata, waaw... Lha iya tadi kan saya juga bilang kalau mengalami hal yang sama. Selain itu ini juga terinspirasi dari pertanyaan santri - santri saya setiap tahunnya. Terutama mereka yang sudah menginjak tahun terakhir.

Passion saya apa ya?

Mengetahui passion itu bagus dan harus. Supaya kita enjoy menjalani aktivitas. Ketika enjoy kita jadi mudah berkembang. Loh apa hubungannya? Buanyak banget. 

Gambarannya gini, misal kita punya hobi futsal. Trus besok malam nih kita diajak teman futsal bareng. Tapi sayang, esok lusa paginya kita harus sekolah, kuliah atau kerja. Nah kira² walaupun ada beban, kita tetap pergi nggak? 

So pasti iya lah. Walau harus menerjang dingin, hujan-badai, sing penting gass! Semua demi bisa futsal bareng teman-teman. Hayoo ngaku siapa yang begini... Tapi ngerasa berat nggak kita? Ngerasa susah nggak? Enggak kan ya. Nah disitulah pentingnya kita tahu passion. Bahasa awamnya kesenangan kita di bidang apa.

Suatu ketika ada beberapa santri yang melanjutkan kuliah tapi dengan jurusan seadanya. Maksud seadanya di sini mereka asal milih, yang penting kuliah. Ketika ditanya alasan masuk kuliah, mereka nggak bisa jawab. Mas...mas..., kuliah itu mahal! Bayar kuliah itu pakai duit. Mbok ya jangan gitu! Kasihan bapak sama ibu di rumah.

Bagi santri niha'i mengetahui kecenderungan itu penting. Supaya bisa berkembang pesat dan bermanfaat bagi orang banyak. Membahas passion itu bisa sampai satu artikel sendiri. Maka dari itu kita tidak membahasnya di sini.

Imam az-Zarnuji menasihati para thullabul ilmi agar berkonsultasi kepada guru dalam memilih kelanjutan studi. Hal ini dikarenakan guru lebih tahu dan bisa melihat potensi apa yang ada dalam diri murid. Jadi dalam menentukan passion, jangan lupakan nasehat guru. Guru di sini secara umum ya, bisa guru BK yang memang tugasnya membimbing karir akademik. Bisa juga guru-guru lainnya yang mengetahui potensi kita. Barangkali juga guru kita punya info jalur beasiswa untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya.

Terus kalau kejadiannya gini gimana ya? sampai hari H wisuda kita belum tahu kecenderungannya di mana. Apa yang harus dilakukan? Saran saya break dulu 1 tahun. Jika ada kesempatan, pilihlah mengabdi di pesantren sambil cari banyak pengalaman. Jelasnya kita bahas di bawah!

Mengabdi atau Kuliah?

Bagi kamu lulusan pesantren yang menerapkan sistem wajib pengabdian  ini bukan masalah. Tapi bagi kita-kita alumni pesantren yang tidak wajib mengabdi, ini bisa jadi supplier kebingungan. Mau kuliah atau mengabdi di pondok. Bimbang antara ingin berkhidmat atau mengejar idealisme. Bagaimanapun juga selama ini pondok menjadi tempat bernaung. Ingin rasanya berkontribusi untuk pondok. Tapi kok rasanya nggak pantas jadi ustadz. Tapi nanti kalau ngabdi nggak boleh kuliah. Kalau kuliah nggak fokus ngabdi. Gimana ya?

Tenang kawan, semua itu butuh proses. Jangan minder. Nggak ada yang namanya ustadz hebat. Adanya ustadz berpengalaman mengasuh santri. Beliau-beliau para ustadz kita dulu bisa jadi musyrif hebat karena jam terbang. Sudah berapa ratus bahkan ribu masalah santri yang mereka hadapi lalu pecahkan. Jadi, jangan minder. Ingat! seribu langkah berawal dari satu langkah pasti.

Oiya, mungkin beberapa pembaca belum familiar dengan istilah pengabdian. Jadi gini, rata-rata pesantren memiliki sistem pengabdian. Bahasa lain yang sering digunakan ialah wiyata bhakti. Program ini ditujukan untuk santri yang sudah menuntaskan pendidikan di pesantren. Istilahnya pondok memberi kesempatan untuk mempraktikkan ilmu yang selama ini didapat.

Skema sistem ini adalah kita mengabdi kepada pondok. Setelah selama ini ia membesarkan kita. Biasanya asatidz pengabdian mendapat pekerjaan membantu kyai mengasuh santri di asrama. Istilah kerennya jadi musyrif. Tugas musyrif mulai dari membimbing keseharian, mengajari ibadah dasar, dan hal-hal lain yang didelegasikan oleh Kyai.

Ada satu model pengabdian lagi. Yaitu pengabdian langsung di lapangan. Program ini akan menerjunkan para alumni untuk langsung praktik dakwah di lapangan. Ada yang ditugaskan di masjid kampung, sekolah desa, hingga pelosok pedalaman Indonesia.

Durasi pengabdian bermacam-macam. Rata-rata pesantren mewajibkan selama 1 sampai 2 tahun. Tapi di beberapa pesantren kultur mengabdi itu ya seumur hidup. Artinya mewakafakan diri untuk membantu kyai seumur hidup.

Kalau saya pribadi nih ya, ketika diminta saran pilih ngabdi atau tidak? Saya akan sarankan untuk memilih fokus mengabdi satu tahun. Seperti yang saya lakukan dulu. Memang ada waktu 1 tahun yang dikorbankan. Tapi percaya deh, di waktu yang singkat itu kamu akan dapat buanyak sekali pengalaman. Mulai dari pengalaman mengasuh santri, problem solving, dll. 

Pengalaman mengabdi ini akan membuka wawasan kita tentang image seorang ustadz pesantren. Juga membekali kita besok ketika saatnya menjadi orang tua. Hari ini kita mengasuh anak orang. Besok, giliran kita mengasuh anak kita sendiri. Paling tidak, kita sudah mempelajarinya ketika pengabdian.

Satu tahun pengabdian juga bisa menambah kemantaban. Jika semula kamu masih ragu ingin lanjut ke mana, gunakan setahun ini untuk fokus mengabdi sambil bereksplorasi. Kalau kamu mau fokus kuliah. Gunakan satu tahun itu untuk persiapan seleksi calon mahasiswa baru. Kalau kamu fokus tahfizh gunakan untuk murajaah, dll.


Mengajar atau tidak?

Rata - rata pesantren modern mengadopsi sistem Kulliyatul Muallimin al-Islamiyyah (KMI). Kiblatnya adalah Pondok Modern Darussalam Gontor. Bagi seorang lulusan KMI, mengajar adalah kompetensi dasar. Karena memang begitulah tujuan sistem ini dibuat. Mencetak para kader guru.

Sejak awal masuk, para santri sudah disetting dengan lingkungan bermodel keguruan. Cara berpakaian, kultur berorganisasi, hingga kebiasaan sehari-hari. Sekolah berpantofel, pengurus organisasi berpakaian jas rapi, dll. Di akhir masa studi juga ada amaliyah tadris atau micro teaching. Sebuah program praktik mengajar langsung kepada santri.

Maka, seharusnya lulusan pesantren itu ya ngajar. Ngajar apapun dan di manapun. Mengajar ngaji di TPA, mendirikan rumah belajar bagi anak-anak jalanan, atau sekedar privat pun itu juga bagian dari mengajar. Intinya sebagai lulusan pondok kita punya tanggung jawab ilmu. Maka dari itu kita harus jadi pendidik dengan cara mentransfer ilmu dan adab. Ingat jangan minder ya!


Setelah Lulus Tinggal di Kos atau Masjid?

Saran saya, sebelum menjatuhkan pilihan lihat dulu siapa penghuninya. Apakah ada pocong, genderuwo, atau apalah itu, hahaha. Khususnya bagi anak rantau nih. Kos atau masjid keduanya nggak masalah. Poin pentingnya cari komunitas yang menjaga kehidupan kita tetap positif. Komunitas sesama alumni pondok lebih recommended. Selain senasib, kita juga lebih cepat beradaptasi. Gimana enggak, dulu sama-sama pernah merasakan pahit getirnya mondok. Jadi kalau ada kiriman dari rumah, tetap bagi-bagi laah. Jangan nafsi-nafsi, didobrak nanti kamar ente.

Di samping itu, beberapa hal yang sering dikeluhkan para alumni setelah lulus adalah kekosongan jiwa. Mereka merasa setelah lulus justru hati menjadi kering. Punya banyak teman tapi merasa sepi. Seakan-akan ia sendirian. Nah, ini bisa kamu antisipasi dengan komunitas positif. Adakanlah kajian alumni. Sekedar tadarus bersama atau malah ngaji intensif itu lebih bagus. Tak ada salahnya alumni pondok tetap ngaji. Toh cari ilmu itu tak ada batasnya. Kita kuliah kan hakikatnya juga cari ilmu? Iya kan.

Idealisme vs Izin Orang tua

"Tadz, sebenarnya saya ingin lanjut ke pesantren mahasiswa (setingkat mahad a'ly). Tapi nggak boleh sama orang tua. Orang tua bilang nanti masa depanmu suram", ujar seorang santri kepada saya. Hehehe, saya madesu noh kalau gitu. Sudah alumni pondok, kuliahnya mondok lagi, hihihi. Bapak-ibu sekalian, rizki itu di tangan Allah. Tugas kita hanya ikhtiar dan tawakal. Hmm keluar nih ndalil-nya. 

Hampir setiap tahun ada santri yang konsultasi masalah ini. Kadang permasalahannya beda tapi polanya sama. Si santri "dipaksa" masuk jurusan keinginan orang tua. Tanpa melihat kecenderungan si santri. Padahal kalau ditanya jujur, si santri terpaksa masuk sana. Hmm gimana ya?

Bagi para santri, nak ingat ridha Allah itu ada pada ridha kedua orang tua. Lalu murka Allah juga ada pada murka keduanya. Jadi, apapun keingininan orang tua penuhi sekuat tenagamu. Loh gimana sih? Katanya tadi suruh lihat passion? Kok sekarang berubah! Dasar penulis plin-plan!

Ingat teman-teman! Kita bisa sekolah sampai pada titik ini berkat perjuangan orang tua. Bayarnya juga pakai duit bukan daun. Jadi raihlah ridha mereka. Siapa tahu lewat ridha mereka kita bisa lebih sukses. Allah itu memberi apa yang kita butuhkan. Bukan apa yang kita inginkan. Jadi jangan sia-siakan harapan orang tua.

Sekedar share aja nih ya. Awalnya dulu orang tua saya juga kurang sreg dengan pilihan masuk pondok mahasiswa. Inginnya ya saya kuliah di kampus negeri. Wajar, hampir kebanyakan orang tua berpandangan begitu. Tapi jawaban istikharah saya berkata lain. Dalam tidur, saya bermimpi kuliah diajar oleh seorang syekih. Saya lalu berpikir, apa ini ya jawabannya. Saya pun memberanikan diri mengomunikasikan keinginan dengan kakak. Baru setelah itu kepada orang tua. Alhamdulillah kakak mendukung. Tinggal tahap selanjutnya komunikasi dengan orang tua.

Tibalah saatnya saya berbicara dengan orang tua. Ditemani kakak nomor dua, kami bicara panjang kali lebar kali tinggi, akhirnya orang tua mengizinkan. Tapi dengan catatan harus tetap ikut seleksi masuk PTN. Permintaan itu saya penuhi. Tahun itu saya ikut SBMPTN dan SBMPTAIN. Semua biaya saya tanggung sendiri. Tanpa meminta orang tua. Alhamdulillah walau berat, semua dimudahkan oleh Allah. Qadarullah saya diterima di pondok mahasiswa dan tidak lolos SBMPTN maupun SBMPTAIN. Heran juga sebenarnya, kok bisa gini ya? Mungkin sudah takdirnya.

Alhamdulillah 'ala kulli hal proses belajar saya dipermudah. Walau kadang pusing juga sih dengan beban materi yang ada. Konon akhirnya saya membuktikan mimpi istikharah waktu itu. Mulai semester empat saya benar-benar diajar oleh syeikh. Dua orang malah. Waw, ini ni yang namanya keajaiban istikharah.

Kembali ke poin kita, kok orang tua bisa membolehkan? Kuncinya di komunikasi yang baik. Jaga adab dan sikap dengan orang tua. Pun setelah terkabul, jaga benar-benar kepercayaan mereka. Tunjukkan perubahan diri yang lebih baik pasca orang tua mengabulkan permintaanmu. Ingat! Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Semua tips tadi nggak akan afdhol kalau ini terlupakan.

Jadi itu tadi beberapa tips bagi santri akhir sanah. Dari sinilah kehidupan sesungguhnya dimulai. Saatnya menentukan pilihan!

***

Suka dengan tulisan ini? Jangan biarkan kebaikan berhenti di tanganmu. Ayo sebarkan seluas - luasnya kepada orang - orang yang kamu cintai!

M. Fajar Nur Rachmat
House of idea and experience

Related Posts

Posting Komentar